Menceraikan Isteri Atas Perintah Orangtua
Apabila seorang ayah atau seorang ibu memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya dikarenakan satu sebab, apakah si anak wajib menaati orangtuanya dengan menceraikan istrinya?
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu menjawab dengan membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Sunan-nya (juz 4 hal. 368) lengkap dengan sanadnya dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata:
كَانَتْ تَحْتِي امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا وَكَانَ أَبِي يَكْرَهُهَا، فَأَمَرَنِي أَنْ أُطَلِّقَهَا فَأَبَيْتُ، فَذَكَرْتُ ذلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا عَبْدَ الله، طَلِّقِ امْرَأَتَكَ
“Aku memiliki seorang istri yang kucintai akan tetapi ayahku tidak menyukainya maka ia memerintahkan aku untuk menceraikannya, namun aku menolak. Lalu kuceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menitahkan, ‘Wahai Abdullah, ceraikanlah istrimu’.”
Kemudian Asy-Syaikh Muqbil mengatakan bahwa hadits ini hasan, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan sanadnya.
Asy-Syaikh, “Al-Mubarakfuri rahimahullahu dalam Tuhfatul Ahwadzi (juz 4 hal. 368) menyatakan, ‘Dalam hadits ini ada dalil yang jelas tentang kewajiban seorang lelaki untuk menceraikan istrinya bila memang diperintahkan oleh ayahnya, walaupun ia mencintai istri tersebut. Ini bukanlah alasan baginya untuk tetap menahan sang istri. Termasuk juga bila ibu yang memerintahkan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa ibu punya hak terhadap anaknya lebih daripada hak ayah sebagaimana disebutkan dalam hadits Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya. Kakeknya ini berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbuat baik?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” “Ibumu,” jawab beliau. “Kemudian siapa setelah itu?” tanyaku. “Ibumu,” jawab beliau. “Kemudian siapa?” tanyaku lagi. Baru beliau menjawab, “Ayahmu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Datang seseorang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling pantas untuk aku bergaul dengan baik kepadanya?” Beliau menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” “Ibumu.” Kemudian setelahnya siapa?” “Ibumu.” Untuk kali berikutnya orang itu kembali bertanya, “Lalu siapa?” “Ayahmu,” jawab beliau.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata, “Apa yang ditetapkan oleh Al-Mubarakfuri rahimahullahu tentang wajibnya seseorang menceraikan istrinya bila kedua orangtuanya atau salah satunya memerintahkannya, menyelisihi pendapat jumhur. Karena jumhur memandang perintah yang disebutkan dalam hadits yang datang dalam masalah ini adalah menunjukkan disenangi (mandub) sebagaimana dalam Dalilul Falihin (juz 2 hal. 176). Namun yang benar dalam hal ini adalah mengamalkan zahir hadits1 karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan perintah untuk bersyukur kepada kedua orangtua dengan bersyukur kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
“Bersyukurlah engkau kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu.” (Luqman: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menggandengkan perintah berbuat baik kepada kedua orangtua dengan perintah beribadah kepada-Nya. Dia Yang Maha Suci berfirman:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan kepada kedua orangtua berbuat baiklah.” (An-Nisa`: 36)
Namun dalam hal ini, wajib bagi seseorang untuk melihat pada sebab. Apa yang melatarbelakangi orangtua memerintahkannya untuk menceraikan istrinya? Bila memang si istri menyelisihi perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau tidak berbuat baik kepada kedua orangtua suaminya, atau kedua orangtua membenci istri anaknya dengan kebencian yang sifatnya tabiat, semua itu (bisa) menjadi alasan untuk menceraikan si istri dengan perintah salah satu atau kedua orangtua.
Bila si istri tersebut adalah wanita yang shalihah, sementara ayah mertuanya yang meminta putranya untuk menceraikan istrinya tersebut seorang yang rusak; misalnya si wanita tidak suka alat-alat musik sementara ayah mertuanya senang dengan alat-alat musik; atau si wanita tidak suka ikhtilath (campur baur tanpa hijab/tabir penghalang) dengan laki-laki yang bukan mahramnya sementara ayah mertuanya mengharuskan menantunya ini untuk ikhtilath dan ia tidak suka bila menantunya ini tidak pergi keluar rumah guna bekerja dan berbaur dengan kaum lelaki; dia adalah wanita yang shalihah namun ia tidak punya ijazah, sementara ayah mertuanya menginginkan anaknya menikah dengan wanita yang punya ijazah agar bisa digunakan mencari pekerjaan; bila seperti ini keadaannya, si anak tidak boleh menaati ayahnya untuk menceraikan istrinya.
Yang jelas, hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas dikaitkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Bila si istri tersebut adalah wanita yang shalihah, sementara ayah mertuanya yang meminta putranya untuk menceraikan istrinya tersebut seorang yang rusak; misalnya si wanita tidak suka alat-alat musik sementara ayah mertuanya senang dengan alat-alat musik; atau si wanita tidak suka ikhtilath (campur baur tanpa hijab/tabir penghalang) dengan laki-laki yang bukan mahramnya sementara ayah mertuanya mengharuskan menantunya ini untuk ikhtilath dan ia tidak suka bila menantunya ini tidak pergi keluar rumah guna bekerja dan berbaur dengan kaum lelaki; dia adalah wanita yang shalihah namun ia tidak punya ijazah, sementara ayah mertuanya menginginkan anaknya menikah dengan wanita yang punya ijazah agar bisa digunakan mencari pekerjaan; bila seperti ini keadaannya, si anak tidak boleh menaati ayahnya untuk menceraikan istrinya.
Yang jelas, hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas dikaitkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” 2
Wallahu ta’ala a’lam.” (Ijabatus Sa`il ‘Ala Ahammil Masa`il, hal. 232-233)
1. Sementara zahir hadits Ibnu ‘Umar di atas menunjukkan wajib, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu ‘Umar untuk melakukan apa yang diinginkan ayahnya yaitu menceraikan istrinya.
2. Faedah: Pernah seseorang bertanya kepada Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu, “Ayahku berkata, “Ceraikan istrimu!”, padahal aku mencintai istriku tersebut, apakah aku harus menaati ayahku?” Al-Imam Ahmad rahimahullahu menjawab, “Jangan engkau ceraikan istrimu!” Lelaki itu berkata lagi, “Bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Ibnu ‘Umar untuk menceraikan istrinya tatkala sang ayah, ‘Umar ibnul Khaththab, telah memerintahkannya untuk menceraikan istrinya?” Al-Imam Ahmad balik bertanya, “Apakah ayahmu itu ‘Umar?”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, “Karena kita yakini dengan ilmu yang yakin bahwa ‘Umar tidak mungkin memerintahkan putranya Abdullah untuk menceraikan istrinya melainkan karena sebab yang syar’i, sementara Abdullah mungkin tidak mengetahuinya. Dan mustahil ‘Umar menyuruh anaknya menceraikan istrinya guna memisahkan antara keduanya tanpa ada sebab syar’i.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/144)
Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis: Redaksi Sakinah, judul Menceraikan Istri Atas Perintah Orang Tua.
Wassalam,
Abu Muawiah
0 comments: