Bagaimana pun, seorang wanita yang bersuami lebih baik daripada wanita yang hidup sebagai perawan tua, hidup menjanda, atau bahkan bergelimang dengan dosa lagi menghinakan diri dengan hidup melacur. Bahkan, ada wanita yang jahat dan zhalim mengatakan kepada suaminya, “Lebih baik engkau berzina/melacur daripada aku dimadu.” Na’udzu billaahi min dzalik.
Dalam Islam, seorang laki-laki jutru lebih baik dan mulia jika ia menikah lagi (berpoligami) daripada ia berzina/melacur. Karena zina adalah perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” [QS. Al-Israa' : 32]
Sedangkan keberadaan pelacuran dan wanita tuna susila (pelacur) justru merendahkan dan melecehkan martabat wanita, juga sebagai bentuk penghinaan kepada wanita serta menjerumuskan mereka ke Neraka.
Di muka bumi ini tidak ada agama yang sangat memperhatikan dan mengangkat martabat kaum wanita selain Islam. Islam memuliakan wanita dari sejak ia dilahirkan hingga ia meninggal dunia.
Islam benar-benar telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita dan memuliakannya dengan kemuliaan yang belum pernah dilakukan oleh agama lain. Wanita dalam Islam merupakan saudara kembar laki-laki; sebaik-baik mereka adalah yang terbaik bagi keluarganya. Wanita muslimah pada masa bayinya mempunyai hak disusui, mendapatkan perhatian dan sebaik-baik pendidikan dan pada waktu yang sama ia merupakan curahan kebahagiaan dan buah hati bagi kedua ibu dan bapaknya serta saudara laki-lakinya.
Apabila wanita telah memasuki usia remaja, ia dimuliakan dan dihormati. Walinya cemburu karenanya, ia meliputinya dengan penuh perhatian, maka ia tidak rela kalau ada tangan jahil menyentuhnya, atau rayuan-rayuan lidah busuk atau lirikan mata (pria) mengganggunya.
Dan apabila ia menikah, maka hal itu dilaksanakan dengan kalimatullah dan perjanjian yang kokoh. Maka ia tinggal di rumah suami dengan pendamping setia dan kehormatan yang terpelihara, suami berkewajiban menghargai dan berbuat baik (ihsan) kepadanya dan tidak menyakiti fisik maupun perasaannya.
Apabila ia telah menjadi seorang ibu, maka (perintah) berbakti kepadanya dinyatakan berbarengan dengan hak Allah, kedurhakaan dan perlakuan buruk terhadapnya selalu diungkapkan berbarengan dengan kesyirikan kepada Allah dan perbuatan kerusakan di muka bumi.
Apabila ia adalah sebagai saudara perempuan, maka dia adalah orang yang diperintahkan kepada saudaranya untuk dijalin hubungan silaturrahim, dimuliakan dan dilindungi.
Apabila ia sebagai bibi, maka kedudukannya sederajat dengan ibu kandung di dalam mendapatkan perlakuan baik silaturrahim.
Apabila ia sebagai nenek atau lanjut usianya, maka kedudukan dan nilainya bertambah tinggi di mata anak-anak, cucu-cucunya dan seluruh kerabat dekatnya. Maka permintaannya hampir tidak pernah ditolak dan pendapatnya tidak diremehkan.
Apabila ia jauh dari orang lain, jauh dari kerabat atau pendampingnya maka dia memiliki hak-hak Islam yang umum, seperti menahan diri dari perbuatan buruk terhadapnya, menahan pandangan mata darinya dan lain-lain.
Masyarakat Islam masih tetap memelihara hak-hak tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga wanita benar-benar memiliki nilai dan kedudukan yang tidak akan ditemukan di dalam masyarakat non muslim.
Lebih dari itu, wanita di dalam Islam memiliki hak kepemilikan, penyewaan, jual beli, dan segala bentuk transaksi, dan juga mempunyai hak untuk belajar dan mengajar selagi tidak bertentangan dengan agamanya. Bahkan di antara ilmu syar’i itu ada yang bersifat fardhu ‘ain -berdosa bila diabaikan- baik oleh laki-laki atau pun wanita.
Dia juga memiliki hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, kecuali beberapa hak dan hukum yang memang khusus bagi kaum wanita, atau beberapa hak dan hukum yang khusus bagi kaum laki-laki yang layak bagi masing-masing jenis sebagaimana dijelaskan secara rinci di dalam bahasan-bahasannya.
Di antara penghargaan Islam kepada wanita adalah bahwasanya Islam memerintahkan kepadanya hal-hal yang dapat memelihara, menjaga kehormatannya dan melindunginya dari lisan-lisan murahan, pandangan mata pengkhianat dan tangantangan jahat. Maka dari itu, Islam memerintahkan kepadanya berhijab dan menutup aurat, menghindari perbuatan tabarruj (berhias diri untuk umum), menjauh dari perbauran dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan dari setiap hal yang dapat menyeret kepada fitnah.
Termasuk penghargaan Islam kepada wanita adalah bahwasanya Islam memerintahkan kepada suami agar menafkahinya, mempergaulinya dengan baik, menghindari perbuatan zhalim dan tindakan menyakiti fisik atau perasaannya.
Bahkan termasuk dari keindahan ajaran Islam bahwasanya Islam memperbolehkan bagi kedua suami-isteri untuk berpisah (bercerai) bila tidak ada kesepakatan dan tidak dapat hidup bahagia bersamanya. Maka, suami boleh menceraikannya setelah gagal melakukan berbagai upaya ishlah (damai), dan di saat kehidupan keduanya menjadi bagaikan api Neraka yang tidak dapat dipertahankan.
Dan Islam memperbolehkan isteri meninggalkan suaminya jika suami melakukan penganiayaan terhadap dirinya, memperlakukannya dengan buruk. Maka dalam keadaan seperti itu isteri boleh meninggalkannya dengan syarat membayar ganti rugi yang disepakati bersama suami, atau melakukan kesepakatan bersama atas hal tertentu untuk kemudian isteri bisa meninggalkannya.
Termasuk penghargaan Islam kepada wanita adalah bahwasanya laki-laki diperbolehkan berpoligami, yaitu nikah lebih dari satu isteri. Laki-laki boleh menikah dengan dua, tiga atau empat isteri dan tidak boleh lebih dari itu, dengan syarat berlaku adil dalam memberikan nafkah sandang, pangan, dan tempat tinggal di antara mereka; dan kalau suami cukup menikah dengan satu isteri saja, maka itu adalah haknya.
Itu semua, sesungguhnya berpoligami itu mempunyai hikmah yang sangat besar dan banyak maslahatnya yang tidak diketahui oleh orang-orang yang menjelek-jelekkan Islam, sementara mereka bodoh tidak mengerti hikmah di balik pensyari’atan ajaran-ajarannya.
Di antara hal-hal yang mendukung hikmah di balik diperbolehkannya berpoligami adalah sebagai berikut:
1). Sesungguhnya Islam melarang perzinaan dan sangat keras dalam mengharamkannya, karena perzinaan dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan fatal yang tidak terhitung jumlahnya, di antaranya adalah: kaburnya masalah keturunan (nasab), membunuh sifat malu, menodai dan menghapus kemuliaan dan kehormatan wanita; karena zina akan meliputinya dengan kehinaan yang tiada batasnya, bahkan kehinaan dan noda akan menimpa keluarga dan kerabat dekatnya.
Di antara bahaya zina adalah bahwasanya zina merupakan tindakan pelecehan terhadap janin yang diperoleh dari hasil perzinaan, karena ia akan hidup dengan nasab yang terputus.
Termasuk bahaya zina: berbagai penyakit mental dan jasmani yang timbul sebagai akibat dari perbuatan terkutuk itu, yang sulit ditanggulangi, bahkan kadang sampai mengancam jiwa pezina, seperti Sipilis, Gonorheo, Aids dan lain sebagainya.
Ketika Islam mengharamkan zina dan dengan keras mengharamkannya, ia juga membuka lebar pintu yang sah (masyru’) dimana seseorang dapat merasakan ketentraman, kedamaian, dan keleluasaan, yaitu nikah.
Jadi Islam mengajarkan nikah dan memperbolehkan poligami sebagaimana disinggung di atas.
Tidak diragukan lagi bahwasanya melarang poligami adalah tindakan kezhaliman terhadap laki-laki dan wanita. Melarang poligami akan membuka lebar pintu perzinahan, karena kuantitas (jumlah) kaum wanita lebih besar daripada kuantitas kaum pria di setiap masa dan tempat.
Hal itu akan lebih jelas lagi pada masa seringnya terjadi peperangan. Maka, membatasi laki-laki menikah dengan satu isteri dapat berakibat pada adanya jumlah besar dari kaum wanita yang hidup tanpa suami yang pada gilirannya akan menyebabkan kesulitan, kesempitan, dan ketidakpastian bagi mereka, bahkan kadang bisa menjerumuskan ke dalam lembah penjualan kehormatan dan kesucian diri, tersebarnya perzinahan dan kesia-siaan anak keturunan.
2). Sesungguhnya nikah itu bukan kenikmatan jasadi (fisik) semata, akan tetapi dibalik itu terdapat ketentraman dan kedamaian jiwa, di samping kenikmatan mempunyai anak. Dan anak di dalam Islam tidak seperti anak dalam sistem-sistem kehidupan buatan lainnya, karena kedua ibu bapaknya mempunyai hak atas anak. Apabila seorang wanita dikarunia beberapa anak, lalu ia dididik dengan sebaik-baiknya, maka mereka menjadi buah hati dan penghibur baginya. Maka pilihan mana yang terbaik bagi wanita; hidup di bawah lindungan suami yang melindungi, mendampingi dan memperhatikannya serta dikaruniai anak-anak yang apabila dididik dengan baik akan menjadi buah dan penghibur hati baginya, atau memilih hidup sebatang kara dengan nasib tiada menentu lagi terpontang-panting kesana-kemari?!
3). Sesungguhnya pandangan Islam adalah pandangan yang adil lagi seimbang.
Islam memandang kepada wanita secara keseluruhan dengan adil, dan pandangan yang adil itu mengatakan bahwa sesungguhnya memandang kepada wanita secara keseluruhan dengan mata keadilan.
Bila begitu, lalu apa dosa wanita-wanita ‘awanis (membujang hingga lewat usia nikah) yang tidak punya suami? Kenapa tidak dilihat dengan mata yang penuh kasih sayang kepada wanita menjanda karena ditinggal mati suaminya, sedangkan ia masih pada usia produktif? Kenapa tidak melihat dan memperhatikan kepada wanita yang sangat banyak jumlahnya yang hidup tanpa suami?!
Yang mana yang lebih baik bagi wanita: Hidup dengan senang di bawah lindungan suami bersama wanita (isteri, madu) yang lain, sehingga dengan begitu ia merasakan kedamaian dan ketentraman jiwa, ia temukan orang yang memperhatikannya dan mendapat karunia anak karenanya, ataukah hidup seorang diri tanpa suami sama sekali??!!
Mana yang lebih baik bagi masyarakat: Adanya sebagian kaum pria yang berpoligami hingga masyarakat terhindar dari beban gadis-gadis tua, atau tidak seorang pun berpoligami sehingga mengakibatkan masyarakat berlumur dengan berbagai kehancuran dan kerusakan??!!
Mana yang lebih baik: Seseorang mempunyai dua, tiga atau empat isteri? Atau cukup dengan satu isteri saja dengan puluhan wanita simpanan di balik itu semua?!
4). Berpoligami itu tidak wajib hukumnya. Maka dari itu banyak laki-laki muslim yang tidak melakukan poligami karena merasa puas dengan satu isteri, dan karena ia merasa tidak akan dapat berlaku adil (bila berpoligami). Oleh karena itu, ia tidak perlu berpoligami.
5). Sesungguhnya tabi’at dan naluri kaum wanita itu sangat berbeda dengan tabi’at dan naluri kaum pria; hal itu bila dilihat dari sudut kesiapannya untuk digauli. Wanita tidak selalu siap untuk digauli pada setiap waktu, karena wanita harus melalui masa haidh hingga sampai sepuluh hari atau dua pekan pada setiap bulannya yang menjadi penghalang untuk digauli.
Pada masa nifas (setelah melahirkan) juga ada penghalang hingga biasanya mencapai 40 hari. Melakukan hubungan suami-isteri (hubungan intim) pada kedua masa tersebut dilarang secara syar’i, karena banyak mengandung resiko yang membahayakan yang sudah tidak diragukan lagi.
Pada masa kehamilan, kesiapan wanita untuk dicampuri suaminya kadang melemah. Dan demikian selanjutnya.
Sedangkan kaum laki-laki kesiapannya selalu stabil sepanjang bulan dan tahun (waktu) dan ada sebagian laki-laki yang jika dihalanghalangi untuk berpoligami akan terjerumus ke dalam perzinahan.
6). Adakalanya sang isteri mandul tidak dapat menurunkan anak sehingga suami tidak dapat menikmati bagaimana punya anak. Daripada ia menceraikan isterinya lebih baik ia menikah lagi dengan wanita lain yang subur.
Mungkin ada yang bertanya: Apabila suami mandul sedangkan isteri normal, apakah isteri mempunyai hak untuk berpisah?
Jawabnya: Ya, ia berhak untuk itu jika menghendakinya.
7). Adakalanya isteri mengidap penyakit tahunan, seperti lumpuh atau lainnya sehingga tidak mampu untuk melakukan tugas mendampingi suami. Maka, daripada menceraikannya, lebih baik tetap bersamanya dan menikah lagi dengan wanita yang lain.
8). Adakalanya tingkah laku isteri buruk. Seperti berperangai jahat, berakhlak buruk (tidak bermoral) tidak menjaga hak-hak suaminya. Daripada menceraikannya lebih baik tetap bersamanya dan menikah dengan wanita yang lain lagi sebagai penghargaan kepada isteri pertama dan menjaga hak-hak keluarganya serta menjaga kemaslahatan anak-anak jika telah punya anak darinya.
9). Sesungguhnya kemampuan laki-laki untuk menurunkan keturunan (produktifitas) lebih besar daripada kemampuan wanita. Laki-laki dapat menurunkan anak hingga usia enam puluhan, bahkan kadang sampai pada usia seratus ia tetap masih segar dan mampu menurunkan anak.
Sedangkan kemampuan wanita rata-rata berhenti sampai usia empat puluhan atau lebih sedikit. Maka, mencegah poligami adalah perbuatan menghalangi ummat dari mempunyai keturunan.
10). Di dalam pernikahan dengan isteri kedua terdapat tenggang waktu bagi isteri pertama. Isteri mempunyai peluang waktu untuk sedikit beristirahat dari beban-beban tugas melayani suami, karena telah ada orang yang membantunya dan mengambil sebagian tugas melaksanakan beban melayani suami.
Maka dari itu, ada sebagian wanita-wanita yang berakal, apabila telah memasuki usia lanjut dan kurang mampu memberikan yang terbaik untuk suaminya mereka memberi isyarat agar suaminya menikah lagi.
11). Mencari pahala. Adakalanya seseorang menikah lagi dengan wanita miskin yang tidak mempunyai penanggung beban hidupnya, ia menikahinya dengan maksud untuk menyelamatkan kesucian dan memberikan perlindungan kepadanya, dengan harapan mendapat pahala dari Allah.
12). Sesungguhnya yang memperbolehkan berpoligami itu adalah Allah yang sudah barang tentu lebih mengetahui mashlahat-mashlahat hamba-hamba-Nya lagi lebih belas kasih terhadap mereka daripada mereka terhadap diri sendiri.
Dengan demikian jelaslah bagi kita hikmah Islam dan universalitas pandangannya di dalam memperbolehkan poligami dan sekaligus menjadi jelas pula kebodohan orang-orang yang mencela ajaran-ajaran Islam.
Di antara penghargaan Islam kepada para wanita muslimah, bahwasanya Islam menetapkan bagian khusus bagi wanita dari harta warisan. Maka seorang ibu mendapat bagian tertentu, isteri, puteri, dan saudara perempuan pun masing-masing mendapat bagian tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam kitab yang membahasnya.
Adalah merupakan kesempurnaan keadilan bahwasanya Islam menetapkan bagian untuk wanita adalah separuh dari bagian laki-laki dari harta warisan. Barangkali ada sebagian orang-orang yang picik akalnya mengira bahwa pembagian tersebut merupakan kezhaliman (tidak adil), dengan mengatakan, “Bagaimana bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan dari harta warisan? Kenapa bagian anak perempuan setengah dari bagian anak laki-laki?”
Jawabnya adalah: Bahwa sesungguhnya yang memberikan ketetapan demikian itu adalah Allah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui tentang maslahat-maslahat para hamba-Nya.
Kemudian di mana letak kezhalimannya?! Sungguh, sistem (hukum) Islam itu integral dan saling berkaitan. Maka bukan bagian dari keadilan bila hanya mengambil satu sistem atau satu ketetapan hukum (tasyri’) lalu memandangnya dari satu sudut tanpa mengaitkannya dengan bagian lainnya, akan tetapi seharusnya melihatnya dari berbagai sudut sehingga gambaran menjadi jelas dan keputusan menjadi lurus.
Hal yang menampakkan keadilan Islam di dalam masalah ini adalah bahwasanya Islam menjadikan nafkah isteri itu sebagai kewajiban suami dan demikian pula halnya mahar untuk isteri adalah kewajiban suami pula.
Sebagai contoh, kalau kiranya ada seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Maka anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian saudara perempuannya (2 banding 1), lalu masing-masing menikah. Pada saat menikah, anak laki-laki itu harus membayar mahar, menyediakan tempat tinggal, memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya sepanjang hayatnya.
Sedangkan saudara perempuan akan mendapat mahar dari suaminya dan tidak dituntut untuk memberikan sedikit pun dari harta miliknya untuk diserahkan kepada suami, atau menafkahi urusan rumah tangganya, atau pun kepada anak-anaknya. Maka, dengan demikian saudara perempuan dapat meng-himpun bagian dari harta warisan dari ayahnya dengan mahar yang ia peroleh dari suami, dan bersamaan dengan itu ia tidak dituntut untuk menafkahi diri dan anak-anaknya.
Jika demikian, tidaklah adil jika laki-laki mendapat bagian yang sama dengan anak perempuan.
Inilah kedudukan, harkat dan martabat wanita dalam Islam; lalu di mana nilai dan derajat sistem-sistem buatan yang ada di muka bumi dibanding sistem-sistem Islam yang samawi lagi adil. Sistem-sistem buatan yang ada di muka bumi ini tidak memperhatikan harkat dan martabat kaum wanita, di mana seorang ayah melepaskan diri dari anak perempuannya ketika mencapai usia delapan belas tahun atau kurang, agar sang putri keluar dengan nasib tiada menentu mencari tempat tinggal dan sesuap nasi untuk memenuhi rasa laparnya, yang terkadang hal itu sampai mengorbankan dan menjual kehormatan diri dan kemuliaan akhlak.
Bandingkanlah penghargaan Islam terhadap wanita yang telah menjadikannya sebagai manusia yang mulia dari pada sistem-sistem yang memandang wanita sebagai sumber kejahatan dan dosa, sistem yang telah merampas hak-haknya di dalam kepemilikan dan tanggung jawab dan menjadikan wanita hidup berlumur kehinaan dan kenistaan serta menganggapnya sebagai makhluk najis?! Dan mana bandingan penghargaan Islam kepada wanita daripada orang-orang yang menjadikan wanita sebagai barang dagangan yang memperjualbelikan jasadnya di dalam berbagai promosi bisnis dan iklan?!
Mana bandingan penghargaan Islam kepada wanita daripada sistem-sistem yang menganggap perkawinan sebagai transaksi jual-beli di mana isteri berpindah supaya menjadi salah satu dari harta kekayaan suami? Hingga sebagian pertemuan mereka yang diselenggarakan untuk mengkaji hakikat dan ruh wanita, apakah ia termasuk manusia atau bukan?
Demikianlah kita melihat bahwa wanita muslimah merasakan kebahagiaan di dunianya bersama keluarga, di bawah asuhan kedua orang tuanya, di bawah perlindungan suaminya dan balas budi anak-anaknya, apakah itu ketika ia di masa anak-anak, remaja atau di masa lanjut usia, dan di dalam kondisi fakir maupun kaya dan sehat maupun sakit.
Kalau terdapat kejanggalan dalam hak-hak wanita yang terdapat di sebagian negeri kaum muslimin, atau dari sebagian orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam, maka semua itu terjadi karena keteledoran dan kebodohan mereka serta karena jauh dari penerapan ajaran Islam. Kesalahan dan dosa ditanggung oleh orang yang bersalah, sedangkan Islam bersih dan bebas dari tanggung jawab kesalahan tersebut.
Penanggulangan kesalahan tersebut hanya dapat dilakukan dengan kembali kepada petunjuk ajaran Islam, supaya kesalahan dapat terbenahi.
Inilah kedudukan, harkat dan martabat wanita di dalam Islam secara singkat; kesucian diri, perlindungan, kasih sayang, cinta dan perhatian serta berbagai macam nilai-nilai luhur lainnya.
Adapun peradaban sekarang hampir tidak mengenal sedikit pun dari nilai-nilai luhur tersebut, ia hanya memandang wanita dengan pandangan materialis murni. Peradaban modern memandang bahwasanya hijab wanita dan kesucian dirinya sebagai ketertinggalan dan keterbelakangan, dan bahwasanya wanita harus menjadi boneka yang dapat dipermainkan oleh setiap laki-laki ‘mata keranjang’, dan itulah rahasia kebahagiaan menurut mereka.
Mereka tidak menyadari bahwasanya tabarruj dan telanjangnya kaum wanita adalah sebab dari kesengsaraan dan siksaannya.
Karena jika tidak, lalu apa hubungan kemajuan dan pengajaran dengan tabarruj, penampakan anggota-anggota badan wanita yang penuh dengan fitnah, porno, pamer kecantikan, buka dada, paha dan hal yang lebih dahsyat dari itu?!
Apakah memakai pakaian transparan, tembus pandang dan pendek itu bagian dari alat-alat peraga pendidikan dan pengajaran??!
Kemudian, kemuliaan yang mana ketika foto-foto wanita-wanita cantik ditampilkan dalam iklan-iklan, pornografi dan berbagai promosi??!
Kenapa yang laris di kalangan mereka hanya wanita-wanita cantik saja? Lalu apabila kecantikan dan keindahannya itu sudah sirna mereka diabaikan dan dicampakkan bagaikan barang yang sudah kadaluwarsa!?
Lalu apa bagian-bagian wanita yang kurang cantik dari peradaban modern ini?! Apa bagian untuk ibu yang lanjut usia, nenek dan wanita-wanita jompo?!
Sesungguhnya bagian mereka yang paling baik (menurut peradaban modern) adalah ditempatkan di tempat-tempat penampungan dari panti-panti jompo di mana mereka di sana tidak dikunjungi dan tidak juga ditanya tentang keadaannya.
Memang ada di antaranya yang mendapat gaji pensiunan atau yang serupa dengannya yang mereka habiskan hingga tutup usia, tetapi di sana tidak ada hubungan silaturahim, tidak ada kerabat dekat, tidak pula teman setia.
Adapun wanita di dalam Islam, semakin lanjut usia mereka semakin dihormati, semakin besar pula hak mereka dan semakin berlomba-lomba anak-anak dan kerabat dekatnya untuk berbuat yang terbaik kepada mereka -sebagaimana dikemukakan di atas- karena mereka telah selesai melakukan tugasnya, dan yang tersisa adalah kewajiban anak-anak, cucu, keluarga dan masyarakat terhadap mereka.
Sedangkan tuduhan dan anggapan bahwa hijab dan menjaga kesucian diri itu sebagai tanda ketertinggalan dan keterbelakangan adalah tuduhan dan anggapan bathil lagi palsu. Sesungguhnya tabarruj dan pamer kecantikan itulah sebenarnya kesengsaraan dan adzab, dan itulah keterbelakangan yang sebenarnya.
Bila pembaca ingin dalilnya bahwa tabarruj dan pamer kecantikan adalah keterbelakangan, maka perhatikanlah dekadensi moral manusia yang tampak pada orang-orang hina bugil yang serba telanjang, mereka yang hidup di berbagai kenistaan yang mirip dengan keadaan hewan. Maka sesungguhnya mereka tidak berjalan menuju tangga-tangga kebudayaan dan peradaban kecuali sesudah mengenakan pakaian.
Orang yang memperhatikan dan mengikuti kondisi mereka di dalam kemajuannya dapat melihat bahwa sesungguhnya setiap kali mereka meraih suatu kemajuan di dalam peradaban, semakin bertambah pula prosentase wanita-wanita telanjang, sebagaimana yang tampak bahwasanya peradaban barat sedang berada di jalan menuju kehancurannya, mundur ke belakang selangkah demi selangkah, hingga berakhir pada telanjang bulat, di kota-kota orang-orang telanjang semakin luas sesudah perang dunia pertama. Kemudian penyakit itu makin dan bertambah serius di tahun-tahun terakhir ini.
Demikianlah menjadi lebih jelas bagi kita betapa keagungan kedudukan, harkat dan martabat wanita di dalam Islam adalah mulia dan terhormat.
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas -
Almanhaj Indonesia
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Dinukil dari ath-Thariiq ilal Islaam oleh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, cet. I/Darul Wathan.